Kamis, 21 April 2011

Televisi sebagai Media Pelestarian Seni Pertunjukan Tradisional

Dunia ini dengan segala isi dan peristiwanya tidak bisa melepaskan diri dari kaitannya dengan media massa; demikian wayang-kulit2]juga sebaliknya, media massa tidak bisa melepaskan diri dari dunia dengan segala isi dan peristiwanya. Hal ini disebabkan karena hubungan antara keduanya sangatlah erat sehingga menjadi saling bergantung dan saling membutuhkan. Segala isi dan peristiwa yang ada di dunia menjadi sumber informasi bagi media massa.
Media massa mempunyai tugas dan kewajiban–selain menjadi sarana dan prasarana komunikasi–untuk mengakomodasi segala jenis isi dunia dan peristiwa-peristiwa di dunia ini melalui pemberitaan atau publikasinya dalam aneka wujud (berita, artikel, laporan penelitian, dan lain sebagainya)–dari yang kurang menarik sampai yang sangat menarik, dari yang tidak menyenangkan sampai yang sangat menyenangkan – tanpa ada batasan kurun waktu.
Oleh karenanya, dalam komunikasi melalui media massa, media massa dan manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan karena masing-masing saling mempunyai kepentingan, masing-masing saling memerlukan. Media massa membutuhkan berita dan informasi untuk publikasinya baik untuk kepentingan media itu sendiri maupun untuk kepentingan orang atau institusi lainnya; di lain pihak, manusia membutuhkan adanya pemberitaan, publikasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Televisi sebagai media publik mempunyai daya tarik yang kuat tidak perlu dijelaskan lagi, kalau radio mempunyai daya tarik yang kuat disebabkan unsur-unsur kata-kata, musik dan sound effect, maka televisi selain ketiga unsur tersebut, juga memiliki unsur visual berupa gambar. Dan gambar ini bukan gambar mati, melainkan gambar hidup yang mampu menimbulkan kesan yang mendalam pada penonton. Daya tarik ini selain melebihi radio, juga melebihi film bioskop, sebab segalanya dapat dinikmati di rumah dengan aman dan nyaman, sedang televisi itu selain menyajikan film juga programa yang lain seperti seni tradisional. Sesuai fungsinya, media massa (termasuk televisi), selain menghibur, ada tiga fungsi lainnya yang cukup penting. Harold Laswell dan Charles Wright (1959) membagi menjadi empat fungsi media (tiga dicetuskan oleh Laswell dan yang ke empat oleh Wright). Keempat fungsi media tersebut adalah:
- Pengawasan (Surveillance)
- Korelasi (Correlation)
- Penyampaian Warisan Sosial (Transmission of the Social Heritage)
- Hiburan (Entertainment)
Belum lama kita menghadapi masalah yang cukup menghebohkan lantaran budaya tradisional negeri kita tercinta ini dianggap telah dicuri oleh salah satu negeri tetangga. Semisal batik, angklung hingga lagu-lagu rakyat. Pencurian budaya tradisional itu menimbulkan amarah rakyat Indonesia yang tidak rela budaya mereka diakui sebagai milik negara lain.
Namun permasalahan itu juga membuat kita tersentak bahwa selama ini ternyata kita telah mengabaikan budaya tradisional sendiri sehingga kecolongan oleh bangsa lain yang lebih pandai memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Apakah kita memang patut dipersalahkan karena ternyata gagal melindungi budaya bangsa sendiri? Nah, ketika masyarakat kita lalai memberi cap tersebut pada produk budaya sendiri, terjadilah pencurian budaya oleh bangsa lain yang kemudian diklaim sebagai produk budaya bangsa tersebut. Untuk itu harus ada perlindungan budaya yang lebih jelas maka diperlukan sebuah undang-undang yang khusus untuk perlindungan karya budaya tradisional. Keanekaragaman budaya Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis itu harus bisa dipatenkan agar tidak dicuri oleh bangsa luar untuk kepentingan sendiri. Selain itu, generasi muda kita sebagai produk modernisme semakin kurang tertarik terhadap hal-hal yang berbau tradisi karena dianggap kuno, ketinggalan zaman dan hanya milik generasi tua belaka. Menghadapi keadaan itu, pemerintah dan segenap kelompok masyarakat yang peduli sebenarnya tidak tinggal diam.Mereka lebih senang akan budaya pop / modern Karena bagaimanapun budaya tradisional patut dilindungi dan dilestarikan.
Sesungguhnya bila kita telaah dan kita kaji secara komprehensif, dalam budaya tradisional terkandung nilai-nilai luhur pembentuk jati diri bangsa. Ketika nilai-nilai ini hilang dan tidak lagi dimengerti oleh generasi muda maka, mereka hanya akan memiliki nilai-nilai global, dan hilanglah jati diri bangsa Indonesia ini. Masalahnya upaya-upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya tradisional sampai saat ini tidak begitu mudah dilakukan di tengah serbuan budaya modern dari luar. Transformasi nilai-nilai seni ke dalam masyarakat luassangat bermanfaat, karena seni bisa menjadi penyejuk bagi kepesatan kemajuan sains dan teknologi yang tidak jarang mengabaikan kehalusan rasa seni dan pendidikan seni berperan sebagai filter bagi peradaban.
Selain masalah internal seperti kurang ketertarikan masyarakat Indonesia terutama generasi mudanya dan upaya pelestarian yang belum terasa gaungnya, juga terjadi masalah eksternal. Seiring dengan perkembangan zaman modern produk budaya bukanlah milik kolektif seperti ketika masa agraris melainkan milik individualis atau sekelompok etnis. Oleh karena itu, segala produk budaya termasuk kesenian kontemporer maupun tradisional pun diberi cap milik individu atau sekelompok masyarakat, bahkan sebuah bangsa.
Apabila suatu kesenian sudah hilang spiritnya, tinggal batang tubuhnya saja, maka suatu kesenian ibarat pria impoten atau wanita vrigid , diam tak bergairah.Mungkin tinggal arang untuk pantas-pantas, dengan pelbagai kostum dan make upnya, tetapi tanpa pijar yang merupakan sumber tenaga kesenian itu. Dia tidak bisa tegang lagi, tanpa rangsang hidup yang sanggup membangkitkan nyali . Sesungguhnya yang ada hanya ampas kesenian, bukan kesenian yang sesungguhnya. (Linus Suryadi AG,1982)
Di samping itu, walau tidak mudah upaya-upaya pelestarian budaya, kita harus tetap gencar melakukannya dengan berbagai cara diantaranya adalah pementasan-pementasan seni budaya tradisional di berbagai pusat kebudayaan atau tempat umum yang dilakukan secara berkesinambungan. Upaya pelestarian itu akan berjalan sukses apabila didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan adanya sosialisasi luas dari media massa termasuk televisi. Maka cepat atau lambat, budaya tradisional kembali akan bergairah.
Bila seni merupakan ‘perilaku estetis ‘ yang dimlilki oleh setiap manusia, maka cara untuk meningkatkan kemampuan ada dua macam, yaitu lewat trained action (pembelajaran) tradisional yang biasanya berlangsung di lingkungan keluarga atau padepokan, dan trained action modern yang biasa dilakukan lewat lembaga yang menawarkan pendidikan, baik pendidikan formal yaitu sekolah maupun non formal yaitu sanggar-sanggar seni atau studio.(Juju Masunah & Tati Narawati,2003).
Lantas bagaimana dengan media Televisi, Indosiar sebagai salah satu stasiun televisi swasta yang peduli budaya tradisional sebenarnya telah lama melakukan upaya pelestarian tersebut, bahkan sejak awal Indosiar berdiri. Pemirsa setia Indosiar tentu masih ingat tayangan dini hari pada akhir pekan beberapa waktu lalu yang menyajikan wayang kulit, kesenian tradisional dari pesisir Jawa Tengah. Saat itu para penggemar wayang kulit yang tadinya sukar menyaksikan kesenian kesayangan mereka itu karena langkanya pementasan di berbagai tempat dan juga jauh dari tempat tinggal, akan mudah menikmatinya di layar kaca tanpa harus beranjak dari rumahnya.
Saat itu, pencinta wayang kulit dapat menyaksikan bagaimana pertunjukan oleh dalang Ki Manteb Sudarsono yang terkenal sebagai dalang setan karena sabetannya. Selain itu, di layar kaca Indosiar pernah hadir beraneka ragam tayangan budaya tradisional lainnya seperti wayang golek dari Sunda yang dipertunjukkan oleh dalang Asep Sunandar Sunary dan kesenian ludruk modern Srimulat yang didukung oleh Basuki (alm), Timbul (alm), Tessy, Asmuni (alm), Bendot (alm), Gogon, Kadir dan sebagainya. Bahkan Indosiar pernah menayangkan kesenian ludruk yang masih tradisional oleh Ludruk Bintang Timur pimpinan seniman Kirun pada tahun 2003.
Tidak hanya itu, Indosiar juga pernah secara rutin menayangkan kesenian ketoprak yang digarap oleh kelompok ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung, Ketoprak Wahyu Budoyo dan Ketoprak Mataram dari Yogyakarta. Memang tayangan-tayangan kesenian tradisional di layar kaca Indosiar sempat absen beberapa waktu karena sesuatu hal, namun Indosiar tidak pernah lupa bahwa salah satu misinya adalah pelestarian budaya bangsa. Oleh karena itu, suatu saat Indosiar akan kembali menayangkan beraneka ragam tayangan budaya tradisional untuk pemirsa setianya.
Tidak lama lagi kita akan menikmati era baru siaran TV Digital (DVBT – Digital Video Broadcast Teresstrial) , dimana teknologi ini memungkinkan satu channel TV berisi lebih dari 10 Stasiun TV tidak seperti siaran analog yang kita nikmati sekarang ini dimana satu channel hanya satu stasiun TV. Jadi kedepan audience dapat menikmati aneka content / ragam acara dengan kualitas gambar dan audio yanbg cukup memukau. Lantas bagaimana dengan seni tradisional ? Pelaku seni tradisional lebih dituntut kreatifitas tinggi dalam mengemas program-program kesenian di layar kaca agar lebih marketable , toh dijagad pertelevisian tidak lepas dari politik ekonomi. Dimana acara itu menyedot banyak pemirsa, tentu akan menaikkan rating . Kenaikan rating otomatis banyak pengiklan.
Demikian sekelumit tulisan saya…semoga kesenian tradisional tetap eksis di negeri tercinta Indonesia dan melekat dihati pemirsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar